Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Dualisme Kepemimpinan Nasional

Dualisme Kepemimpinan Nasional di Indonesia
Dengan ketetapan Nomor XIV/MPRS/1966, yang menyatakan apabila presiden berhalangan maka kedudukannya digantikan oleh pemegang mandat Supersemar. Sehingga dengan adanya ketetapan tersebut maka kedudukan supersemar resmi secara hukum dan tidak bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno. Sehingga hal tersebut menyebabkan timbulnya dualisme kepemimpinan di Indonesia.

Kemudian ketetapan Nomor XIII/MPRS/1966 yaitu memberikan tugas kepada pemegang mandat supersemar untuk membentuk sebuah kabinet yang bernama kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) yang diresmikan pada tanggal 28 juli 1966. Didalam kabinet tersebut, Presiden Soekarno menjadi pemimpin kabinet dan Letjen Soeharto menjadi kepala pelaksana pemerintahan. Kabinet Ampera dibentuk dengan tugas utama yaitu menciptakan stabilitas politik ekonomi negara sesuai dengan isi tuntutan Tritura.

Ketetapan Nomor V/MPRS/1966 yaitu MPRS meminta agar Presiden Soekarno kembali melengkapi isi pidato Nawaksara. Presiden Soekarno diminta menyampaikan pertanggungjawaban yang terkait dengan peristiwa G30S PKI, kemunduran ekonomi, serta kemerosotan moral bangsa.

Sehingga pada tanggal 10 januari 1967, Presiden Soekarno kembali menyampaikan pidatonya yang tertuang didalam surat presiden RI Nomor 1/pres/1967 bernama Pelnawaksara (pelengkap Nawaksara). Dengan melalui pidato tersebut, Presiden Soekarno menolak untuk mempertanggungjawabkan peristiwa G30S PKI, kemunduran ekonomi, serta kemerosotan moral bangsa secara sendiri. Dengan melalui keputusan pimpinan MPRS Nomor 13/B/1997, yaitu MPRS menolak pidato Pelnawaksara yang disampaikan tersebut.

Pada tanggal 9 februari 1967, untuk mengatasi situasi politik yang sedang memanas, DPR-GR mengajukan suatu resolusi dan memorandum kepada MPRS. Para pemimpin ABRI membujuk agar Presiden Soekarno dapat menyerahkan kekuasaan kepada pemegang supersemar sebelum sidang umum MPRS akan dilaksanakan. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya perpecahan rakyat, dan untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan serta pribadi presiden soekarno sendiri.

Pada tanggal 22 februari 1667, presiden soekarno resmi mengundurkan dirinya dari jabatan. Pengumuman tersebut ia umumkan setelah sebelumnya ia mendapatkan saran dari sahabatnya Mr. Hardi, yaitu untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan di indonesia yang dapat  menjadi akar konflik politik nantinya.

Kemudian pada tanggal 7 sampai 12 Maret 1967, telah ditetapkan ketetapan Nomor XXXIII/MPRS/1967 yaitu MPRS menarik mandat Presiden Soekarno berserta segala kekuasaannya didalam pemerintahan Indonesia dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden untuk menggantikan Presiden Soekarno. Pelantikan tersebut dilakukan oleh Jenderal A. H. Nasution sebagai ketua MPRS pada tanggal 2 Maret 1967.

Kemudian setelah setahun Soeharto menjabat sebagai Pejabat Presiden, Ia kemudian dilantik menjadi Presiden RI sesuai dengan ketetapan Nomor XLIV/MPRS/1968 yaitu menjalankan tugas sebagai Pejabat Presiden hingga terpilih sebagai Presiden oleh MPRS yang merupakan hasil dari pemilihan umum (pemilu). Akhirnya pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto resmi telah dilantik sebagai Presiden RI dan hal tersebut menandakan telah dimulainya periode/masa Orde baru.